Rabu, 29 April 2009

Pulang ke Rumah (bintang merah)

Di suatu pagi yang cerah, di padang yang berumput hijau, terlihat empat kemah berwarna coklat kehitaman. Dari salah satu kemah tersebut keluarlah seorang pemuda. Ia menghirup udara pagi yang menyegarkan sambil meregangkan tangannya. Ia memicingkan mata karena sinar matahari pagi menyilaukan matanya yang tadi tertutup sepanjang malam. Ia pun berlari-lari kecil untuk menghangatkan badannya. Udara pagi itu memang cukup dingin. Kabut-kabut tipis pun masih terlihat menggantung diantara pepohonan. Suara burung pun hanya satu dua yang terdengar. Seolah semua mahluk enggan untuk beranjak dari tempat tidurnya masing-masing. Mereka masih terlelap dalam tidurnya.
Selagi pemuda itu masih berlari-lari kecil ia dikagetkan oleh sebuah suara seseorang yang memanggilnya.
“Alasta, tolong nyalakan api unggunnya”
Alasta pun menoleh ke arah suara itu. Itu adalah gurunya. Ia membawa lima ekor ikan yang sudah diikat menjadi satu pada tangan kanannya dan sebuah ember penuh air pada tangan kirinya. Nama pria itu adalah Ernouin.
“Bapak dari mana?” Tanya Alasta sambil menyusun kayu bakar yang memang sudah disediakan.
“Mencari sarapan kita dan mengambil air dari sungai Noren” jawabnya.
“Maaf pak, saya bangun kesiangan. Jadinya merepotkan bapak” ucap Alasta.
“Sudahlah tak apa. Sejak meninggalkan kota Derner aku tahu kau yang paling lelah. Pasien mu yang paling banyak. Berapa orang yang sudah kau obati di Derner?” Tanya Ernouin.
“Entahlah pak, mungkin sekitar tiga puluh” jawabnya singkat. Tangannya sibuk membuat api.
“Oh, kalian sudah bangun ya?” Tiba-tiba suara seorang perempuan menggagetkan mereka.
Seorang gadis yang manis dengan rambut hitam bergelombang dan mata kuning yang cemerlang mendekati mereka, membawa sekantung penuh tomat kecil. Sambil tersenyum manis ia berkata “Cepat sekali kalian bangun”.
“Vesia. Dari mana kamu?” Tanya Alasta.
“Mencari sarapan kita” Jawabnya.
“Kapan kau bangun?” Tanya Ernouin.
“Jam empat” Jawabnya singkat disertai senyuman sambil meletakkan tomat-tomatnya.
“Pagi sekali, cepat juga kamu bangun” ujar Alasta.
“Yah, aku sedang ingin melihat matahari terbit. Sambil menuggu ia terbit aku pun mencari tomat dan kentang untuk sarapan kita” Ia berkata sambil mengeluarkan kentang dari dasar kantung.
“Wah, kebetulan sekali ada ikan. Alasta, nanti tolong rebus kentang-kentang ini. Sarapan ikan bakar dengan kentang rebus dan tomat kecil adalah sarapan termewah di alam liar. Sehat pula” lanjutnya lagi.
Alasta pun menuangkan air ke panci untuk merebusnya. Pak Ernouin pun membersihkan ikan yang akan di bakar. Sementara itu Vesia juga menguliti kentang yang akan di rebus. Mereka pun mengerjakan pekerjaannya masing-masing tanpa banyak bicara. Setelah menempatkan panci di atas api, Alasta berpindah membantu Vesia menguliti kentang-kentang dan membersihkan tomat. Pak Ernouin pun membakar ikan-ikan yang sudah dibersihkan bagian dalamnya.
Ketika sarapan hampir siap seorang gadis lain keluar dari kemah keempat. Rambutnya panjang tapi sedikit berantakan. Matanya masih terlihat sayu. Ia pun melirikkan matanya kepada Alasta, Vesia, Ernouin lalu berkata singkat “hai, selamat pagi semua”. Kemudian ia masuk ke dalam kemah dan keluar lagi dengan mantelnya, rambutnya pun sudah disisir rapih. Sambil menggosok-gosokan kedua tangannya ia berjalan ke arah tiga orang itu. Ia duduk di sebelah Vesia dan terdiam.
“Narasya, tumben kamu bangun siang” Tanya Vesia. Narasya hanya tersenyum sambil berkata “malam tadi kan malam terakhir kita di alam liar, jadi aku tidur agak malam agar bisa melihat bintang-bintang di alam liar”. Mendengar itu Vesia juga tersenyum “iya ya, hari ini kan kita akan kembali lagi ke ibu kota”. “oh, iya. Semalam aku melihat pemandangan menakjubkan di langit” lanjut Narasya. “Pemandangan apa?” Tanya Alasta. “Semalam, di langit ada cahaya merah yang sangat terang lalu dari cahaya itu keluar ratusan cahaya-cahaya kecil lainnya, indah sekali. Seperti kembang api. Aku sebenarnya ingin membangunkan kalian. Tapi aku tidak enak. Kalian sudah tidur nyenyak.” Jawabnya.
Sambil Narasya bercerita, Ernouin membagikan ikan bakar dan kentang rebus. “sesudah ini kalian mandi, bereskan barang dan bawaan. Satu jam lagi kita akan melanjutkan perjalanan ke ibu kota” ujar Ernouin. Ketiga orang itu hanya mengganguk. Mereka pun menikmati sarapannya.
Satu jam pun berlalu. Setelah berkemas rombongan itu pun melanjutkan perjalanannya menuju Feorena, ibu kota kerajaan Westervalia. Perjalanan yang mereka tempuh masih sekitar tiga kilometer sebelum sampai ibu kota.
Setelah empat bulan menghabiskan waktu berkeliling ke seluruh wilayah kerajaan akhirnya mereka kembali ke ibu kota. Tugas mengadakan pengobatan keliling yang merupakan syarat kelulusan dari akedemi kedokteran berhasil mereka lalui. Mereka menempuh jalan alam liar untuk mengelelilingi kota-kota yang ada dalam wilayah Westervalia. Mengadakan pengobatan gratis ke pada masyarakat untuk membuktikan keahlian mereka sebagai dokter.
Di Westervalia akademi kedokteran adalah akademi terberat dan di urutan kedua adalah akademi kemiliteran dalam urusan penempaan fisik. Mereka dilatih agar bisa bertahan di segala kondisi alam baik itu panas atau pun dingin. Perjalanan mengelilingi wilayah kerajaan sebagai syarat kelulusan adalah salah satu buktinya. Di akademi ini tidak hanya mempelajari bagaimana menyembuhkan atau merawat orang tapi mereka juga diajarkan mengenai jenis tanaman dan hewan, ilmu perbintangan, dan pertahanan diri. Semua diajarkan karena para dokter adalah peran yang paling vital baik dalam medan perang atau pun bencana alam. Mereka harus bisa menolong korban di medan perang yang paling ganas sekali pun dan harus bisa merawat korban bencana alam di kondisi yang sangat minim perlengkapan, karena tiap nyawa sangat berharga.
Saat ini berbagai pikiran melayang-layang di kepala mereka. Alasta sudah sangat ingin sampai karena ia sangat lelah sekali dalam perjalanan ini. Vesia dan Narasya sangat senang karena bisa kembali bertemu dengan teman-teman mereka. Pak Ernouin sangat puas karena timnya berhasil melakukan perjalanan yang seharusnya memakan waktu tujuh bulan, selesai hanya dalam empat bulan. Tak terasa dua jam berlalu, Gerbang Andrin yang merupakan pintu masuk Barat Feorena pun terlihat. Mereka pun telihat semakin ceria . “ Akhirnya kita tiba di rumah” ucap Ernouin. Ketiga muridnya pun tersenyum puas.

1 komentar: