Rabu, 29 April 2009

Prolog (bintang merah)

Suasana yang tenang di padang rumput Ael pada suatu malam yang cerah. Bintang-bintang terlihat dengan jelas. Angin sejuk berembus dari utara membuat pohon mengeluarkan suara desiran yang menenangkan. Cahaya bulan menerangi padang rumput. Membuat semuanya jelas terlihat di padang itu. Seekor tikus yang sedang berkeliaran mencari mangsa, burung-burung yang tertidur di sarangnya, seekor ular yang merayap keluar dari sarangnya, semua terlihat jelas. Namun diantara semua itu ada satu pemandangan yang menarik perhatian. Seseorang dengan jubah berkerudung warna hitam sedang berbaring di sebuah batu besar yang mirip tempurung kura-kura.
Wajah pria itu tidak terlihat jelas karena tertutup kerudung. Dagunya ditumbuhi janggut tipis berwarna hitam. Mulutnya terlihat bergumam. Terdengar suara senandung dari mulutnya. Ia bersenandung sambil menggoyangkan jari telunjuknya ke sana ke mari. Tampaknya ia sangat menikmati malam yang indah itu.
Tanpa sadar, senandungnya berubah menjadi sebuah lagu.
Angin dengarlah suaraku
Bintang dengarlah aku
Dengarlah kesedihanku
Api merah kini telah membiru
Akankah kami bersatu

Oh, bumi. Malangnya dirimu
Melihat yang dulu bersatu kini berseteru
Api persaudaraan berubah menjadi badai peperangan
Akankah damai ada menghilangkan kekacauan
Net ves seren aisir num ves bet sayakah
Ansum meren elebah lun gal ered
Mikhtaim nevena echad naim
Ludsa anerem leribah
Tiba-tiba lagunya pun terhenti. Pria itu bangun. Ia menatap ke langit dan menatapnya sangat lama. “Oh, tidak. Semoga apa yang kulihat ini tidak benar” bisiknya perlahan. Di langit terlihat sebuah cahaya merah yang sangat terang disertai ratusan bola-bola kecil yang keluar dari cahaya itu. Si pria yang sempat terbengong beberapa saat segera berlari secepat mungkin meninggalkan tempat itu. Ia berlari bagai orang yang sedang dikejar setan. Membelah rumput padang Ael. Ia tidak mempedulikan apapun selain berlari secepat mungkin. Seekor ular mati setelah kepalanya terinjak pria itu. Pria itu pun sempat tersandung batu tapi segera ia bangkit lagi dan berlari lagi. Tak peduli lagi pada jubahnya yang robek karena jatuh tadi, ia terus berlari. Akhirnya ia tiba di suatu desa kecil. Segera ia menuju rumah yang memiliki atap paling tinggi.
Sakin tergesanya ia sampai menabrakkan dirinya ke pintu untuk masuk ke rumah itu. Ia pun segera terjatuh. Secara serentak enam pasang mata di rumah itu tertuju padanya. “ Enaron. Ada apa?” tiba-tiba seseorang di rumah itu bertanya. “kau membuat kami kaget” ujar yang lain. Sambil berusaha berdiri Enaron berkata “sh-sh-sheva’il nachtu”. “apa katamu?” ujar pria yang pertama. “Sheva’il nachtu” ujarnya dengan jelas kali ini. “Sheva’il nachtu…Tanda Kiamat, maksudmu?” tanya pria kedua. Enaron pun mengangguk perlahan.
“dari mana kau tahu?”.
“lihatlah keluar, ia memperlihatkan dirinya dengan jelas” jawab Enaron
Mereka pun keluar dari rumah itu dengan cepat. Dengan jelas mereka melihat apa yang dilihat oleh Enaron di padang Ael. bola-bola kecil itu makin banyak jumlahnya.
“Oh, bumi. Bersiaplah menerima kesedihan baru, Akhir dari dunia ini” kata Enaron lirih.
“Apa yang dikatakan ramalan mengenai ini?” tanya pria pertama.
“Malapetaka yang tak pernah terjadi sebelumnya” jawab pria kedua.
“Tak adakah harapan bagi kita untuk mencegahnya?” tanya pria pertama lagi.
“Setidaknya kita bisa memberitahu semua orang untuk bersiap menghadapi malapetaka ini, Yenael” jawab Enaron pada pria pertama.
“Ya, setidaknya itu yang bisa kita lakukan sekarang ini. Besok kita akan mengumpulkan warga desa, kita rundingkan mengenai hal ini” ujar Yenael.
Mereka pun segera masuk ke rumah untuk menghangatkan badan. Udara dingin dan berita mengenai malapetaka yang akan datang membuat malam menjadi mencekam. Kekhawatiran saat ini sedang menggelayuti hati mereka. Berharap malapetaka itu tidak pernah terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar