Kamis, 27 Januari 2011

Elang Tanpa Sayap

Angin Selatan bertiup kencang terasa menggigit di leher belakangku. Entah berapa lama aku sudah berdiri terpaku di sini. Seingatku, beberapa saat lalu cahaya sore matahari masih ada di kaki langit sana. Namun sekarang bintang-bintang dan remang bulan saja yang menemaniku. Mataku menatap ke lurus ke depan tanpa titik fokus. Mungkin tadi akalku sempat meninggalkan tubuh yang mulai kedinginan ini.

Tusukan-tusukan beku angin malam Yerusalem ini tak sanggup mebuatku beranjak. Hatiku terlalu gundah untuk dikalahkan oleh sekedar angin lewat. Andai saja kejadian tadi siang tak terjadi, lebih tepatnya kejadian yang seharusnya kuketahui, tak perlu kulihat. Mungkin saat ini aku sedang memandang ke arah Dome of The Rock ditemani secangkir coklat panas. Mungkin saat ini, ya saat ini wajahku sedang tenggelam di antara buah dadanya. Bergelut dalam cinta berhiaskan birahi di atas kasur putih. Namun bila itu tidak kulihat, aku akan hidup dalam kebohongan selamanya.

Sirene-sierene yang dari sore tadi meraung-raung kini mulai sirna. Sirna seakan hilang ditelan malam.

Aku selalu mencintainya hingga siang tadi. Bahkan malam malam ini api cinta ini pun tak akan padam. Cintaku semakin berkobar, namun berkobar di atas sekam kepahitan.

Selepas perjalanan kami berfoto-foto sepanjang hari di sekitar Tel Aviv kemarin, Aku dan Mae memutuskan untuk menginap di salah satu hotel di Yerusalem. Kota ini selalu menarik bagiku. Kota di mana segala sesuatu bertemu. Romantisme, kesetiaan, tragedi, peperangan, dan kesucian tersebar di sudut- sudut kota ini. Bahkan ada tembok di mana selalu menjadi saksi bisu tangisan ribuan orang selama berabad-abad. Orang-orang Yahudi menyebutnya "Tembok Ratapan". Kota adalah kota di mana Bapa Abraham memberi persembahan kepada Melkisedek, Raja Salem. Kota di mana Yesus pernah di sambut bagai raja oleh penduduknya, hanya untuk disalib oleh orang-orang yang tidak sudi mengakui bahwa Ia benar. Kota di mana banjir darah terjadi selama 200 tahun dengan dalih mengatasnamakan Tuhan. Mungkin perang salib telah berakhir tapi kota ini tak pernah lepas dari peperangan. Layaknya ksatria perang salib bertarung melawan prajurit Saracen pimpinan Salahadin Ayyubi, Israel dan Palestina terus saja mewarnai kota ini dengan debu peperangan. Namun, sebanyak apapun darah ditumpahkan, sebanyak apapun asap peperangan mencoreng wajahnya, Aura kesucian Yerusalem tidak pernah pudar di hati para pemujanya.

Kami memutuskan untuk mencoba Humus di salah satu rumah makan terdekat. Makanan tradisional orang Yahudi yang dari dulu memang ingin kucoba. Aku terus memandangi Mae selagi mendungu pesanan datang.

"Do you know how much I love you?" tanyaku pada kekasih hatiku itu.

"hmm...how should I know?" Jawabnya pura-pura tidak tahu sambil tersenyum manja.

"Really?...As far as sky from earth is my love for you, Mae" kataku

Mendengar kata-kata itu Mae tergelak. "Gombal ah. Gak kreatif. Udah ribuan laki-laki yang make kata-kata itu ke cewe"

Aku pun ikut tertawa sambil berkata "Serius, Aku emang sayang kamu"

Dia pun tersenyum. Humus yang ditunggu-tunggu pun datang. Kami menikmatinya dengan penuh khidmat.

Setelah makan, Mae minta izin sebentar ke hotel menggambil handphone yang tertinggal. Aku menggangguk dan memberitahunya agar tidak terlalu lama. Aku pun menunggu. Dua puluh menit berlalu namun Mae belum kembali. Aku pun memutuskan kembali ke hotel. Siang itu aku tidak merasakan apa-apa dalam hatiku sampai akhirnya apa yang kulihat merusak akal sehat ku. Aku membuka gagang pintu kamar dan segera masuk ke dalam. Entah kenapa saat itu aku tak memanggil nama kekasihku itu, tapi malah memutuskan mencarinya hingga ketemu. Hingga akhirnya telingaku menangkap suara ganjil dari arah kamar mandi. Suara itu membangkitkan kenangan pahit ku di masa lalu. Semakin dekat dengan suara itu, pikiranku semakin sakit dibuatnya. Hatiku panas. Namun aku berusaha tenang. Meyakinkan diri bahwa semuanya hanya mimpi. Perlahan aku mengetuk pintu. Suara lenguhan perempuan dari dalam kamar mandi pun berhenti.

"Mae...Mae" Panggilku dengan nada suara yang berantakan, entah lembut atau geram.

Tidak ada jawaban dari dalam. Aku kembali mengulangi panggilanku sekali lagi. Sekali lagi tak ada jawaban. Kemudian aku pun menjauh dari kamar mandi, menutup pintu kamar dengan bantingan agar terkesan aku telah pergi. Aku bersembunyi di balik tembok. Beberapa menit kemudian kedengaran pintu kamar mandi dibuka.

Suara yang tak asing bagiku terdengar jelas. "Udah pergi dia...". Kemudian terdengar jelas suara Mae. "kita udahan dulu yuk, nanti dia balik lagi gimana"

"Gak bisa gitu dong, udah tanggung nih, Lanjut bentar aja yuk" Ujar pria itu
"Gak bisa Frans, nanti dia balik lagi..gue takut"
"Tanggung, Mae. Lo juga belom puas kan?"
"Frans plis udahan...gue gak mau bikin dia kecewa dua kali"
"Ah, cerewet amat lo. Gue blom puas nih"

Pria itu pun memaksa Mae. Aku tak tahan lagi melihat perbuatan menjijikan ini. Segera aku melayangankan kepalanku ke arah kepala belakang Frans. Dia pun terjungkal.

"BRENGSEK LO, FRANS!! TEGA-TEGANYA LO NGELAKUIN INI LAGI KE GUE"

Kembali aku melayangkan pukulan amarahku ke wajah Frans. Ia berhasil menepisnya dan mendorongku ke arah kiri. Aku pun terjungkal.

"Ini gak seperti yang lo liat, brader" ujar Frans berusaha menenangkan ku

"LO UDAH DUA KALI TIDUR SAMA ISTRI GW! BRENGSEK LO!" Aku pun berdiri, dengan berang aku menerjang ke arah Frans. Ia berhasil menghindar dan menyarangkan tinju ke perutku. Kembali aku terjatuh ke lantai. Bibirku berdarah karena menbarak pinggir meja.

"YAUDAH, LEBIH BAIK KITA MEMPEREBUTKAN MAE! LAGIAN DARI AWAL LO YANG NGEREBUT MAE DARI GUE!" Teriak Frans sambil berlari ke arahku.

Ditendangnya berkali-kali perutku. Rasanya mual sekali. Tak tertahankan. Setelah puas menghantam perutku ia membabi buta menghujani wajahku. Aku hanya berlindung di balik tanganku. Tapi itu tak menghentikan seranganya. Aku dapat merasakan hangatnya darah yang mulai keluar dari bibir dan hidungku.

Mae berteriak histeris dan berusaha memisahkan kami. Ia mencoba menahan tangan Frans, namun dengan sekuat tenaga Frans mendorong Mae hingga kepalanya membentur tembok. Mae pun pingsan. Melihat itu, sebuah kekuatan entah dari mana datangnya, aku berhasil mendorong Frans. Ia pun jatuh terlentang. Dengan tidak menyia-nyiakan kesempatan aku berlari, meloncat, dan sekuat mungkin menginjak kemaluan Frans yang telanjang. Muncratan darah membasahi kakiku seiring jerit raung kesakitan Frans. Aku pun menggambil sebuah bolpen dari saku kemeja ku dan melubangi perut Frans sebanyak 20 kali.

Setelah itu aku berlari ke luar hotel. Lari ke mana saja. Aku berlari kemana kaki ini membawaku.

Saat ini aku berdiri di atas Menara Daud. Menatap Yerusalem dari atas. Ia begitu cantik dihiasi lampu-lampu dari tiap rumah. Mengingatkanku pada Mae yang cantik. Rasanya hatiku hancur, dua kali kekasihku berselingkuh dengan sahabat baik ku. AKu melukai sahabat baikku. Mungkin sekarang dia sudah mati. Tak mungkin polisi mencariku jika ia tidak mati.

Sudahlah, aku sudah tidak peduli lagi. Sekarang aku merasa bebas bagaikan Altair, si elang tanpa ayah dan ibu. Altair bagai elang terbang, meluncur dari menara-menara tinggi di Yerusalem, Damaskus, Acre, tanpa terluka. Aku akan mengikuti gerakannya, Aku bukan Altair. Aku bagai elang tak bersayap meluncur ke kesunyian. Sudahlah, Aku tetap mencintaimu Mae.

Aku menutup mataku, merasakan angin menerpa wajahku dari bawah dengan keras. Ya aku bebas. Sekarang aku melawan Gravitasi.

"Sampai jumpa lagi, Mae" bisikku sambil tersenyum dan tak merasakan apa-apa lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar